SELAMAT DATANG DI BLOG BERBEDA DARI YANG LAIN

APA YANG ADA INGIN UNGKAP, RASAKAN, DISKUSIKAN....
SILAHKAN MUNGKIN DISINI KITA BISA TUKAR PANDANGAN DAN PENDAPAT....

Rabu, 16 Desember 2009

analisis strategi peningkatan PAD kota Bau-Bau

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia di satu sisi telah membawa dampak pada tingkat kemiskinan, namun di sisi lain krisis tersebut telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total diseluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia.

Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang muncul sebagai jawaban untuk memasuki era baru, keluar dari krisis ekonomi dan kepercayaan yang diderita bangsa. Untuk itu MPR-RI mengeluarkan Ketetapan Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Di samping adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, TAP MPR tersebut merupakan landasan hukum perubahan undang-undang pemerintahan daerah juga berkali-kali mengalami perubahan yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian dirubah lagi dengan undang-undang Nomor 12 tahun 2008, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah diganti dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah yang akan membawa perubahan dasar pada pola hubungan pemerintahan antar pusat-daerah dan keuangan pusat dan daerah.

Kehadiran kedua Undang-undang ini, menimbulkan reaksi yang berbeda-beda dari daerah. Pemerintah Daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaliknya daerah yang miskin sumber daya alamnya menanggapinya dengan rasa khawatir dan was – was.

Kekhawatiran beberapa daerah tersebut dapat dipahami, karena pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk lebih mandiri baik dari sistem pembiayaan maupun dalam menentukan arah pembangunan daerah sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat di daerah .

Persoalan kemandirian pemerintah daerah ini disebabkan oleh masalah makin membengkaknya biaya yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk pelayanan publik (fiscal need), sementara laju pertumbuhan penerimaan daerah (fiscal capacity) tidak mencukupi (Suwandi, 2004:3), sehingga terjadi kesenjangan fiskal (fiscal gap). Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat dalam rangka mengatasi kesenjangan fiskal.

Peningkatan kapasitas fiskal daerah ini pada dasarnya adalah optimalisasi sumber–sumber penerimaan daerah yang salah satunya adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi pendapatan asli daerah yang riil dimiliki daerah (Mardiasmo dalam Ilyas, 2003:20). Untuk itu diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional dimana PAD ini merupakan indikator bagi pengukuran tingkat kemampuan keuangan daerah.

Menurut Widayat (1994:31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :

1. Banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);

2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;

3. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;

4. Adanya kebocoran-kebocoran;

5. Biaya pungut yang masih tinggi;

6. Banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;

7. Kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.

Menurut Jaya (1996:5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah sebagai berikut :

1. Kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;

3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;

4. Alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme;

5. Kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.

Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996:74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.

Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997:34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. faktor manusia;

2. faktor keuangan;

3. faktor peralatan;

4. faktor organisasi dan manajemen.

Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.

Tingkat kemampuan Kota Bau-Bau sebagai daerah otonom yang baru dibentuk berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2001, bila dilihat dari perolehan PAD tahun 2005 sebesar Rp. 7. 945. 825. 377, dengan APBD sebesar 178.671.117.000 jadi sumbangan PAD terhadap APBD hanya 4.45%, pada tahun 2006 PAD sebesar Rp 8. 962. 542. 100, dengan APBD sebesar 279.511.013.700, atau sumbangan PAD terhadap APBD berkisar 3,20%, dan pada tahun 2007 sebesar 11.460.674.100, dengan APBD sebesar 313.420.036.249, atau sumbangan PAD terhadap APBD berkisar 3,65%, kemudian pada tahun 2008 sebesar Rp 14.166.551.839,00 dengan APBD sebesar 341.019.508.306 atau sumbangan PAD terhadap APBD sebesar 4,15% dan pada tahun 2009 sebesar 19.380.294.898, dengan APBD sebesar Rp 384.951.051.704 atau sumbangan PAD terhadap APBD sebesar 5,03% (sumber ; Dinas PPKAD Kota Bau-Bau) dalam hal ini PAD Kota Bau-Bau terus menunjukkan adanya kenaikan. Namun demikian, APBD Kota Bau-Bau juga terus meningkat sehingga belum mampu melepaskan ketergantungan pada pemerintah pusat, hal ini di karenakan kontribusi PAD terhadap APBD masih sangat kecil.

Berdasarkan uraian-uraian di atas di samping juga faktor status Kota Bau-Bau sebagai salah satu daerah yang masih muda dengan segala keterbatasan kemampuan keuangan yang dimilikinya, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kondisi dan dinamika kemampuan keuangan Kota Bau-Bau dengan judul :

ANALISIS STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BAU-BAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA”.

1.2 Keaslian Penelitian

Disadari bahwa penelitian mengenai strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya sudah banyak dilakukan, namun demikian penelitian yang sama dan secara khusus di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Saragih (1996) mengatakan bahwa peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan masih rendah meskipun perolehannya setiap tahun mengalami peningkatan.

2. Lains (1995) meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains kemampuan pembiayaan dengan PAD dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat kecil atau dengan kata lain sebagian besar pembiayaan dasar dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Kecilnya proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah disebabkan antara lain karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan serta sistem pajak dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah.

3. Lee dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa apabila Pemerintah Daerah akan menaikkan penerimaan pajak, maka sebaiknya Pemerintah Daerah memperhitungkan kemampuan membayar dari masyarakat di daerah tersebut dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan politik.

4. Radianto (1997 : 39) penelitian yang dilakukan di Daerah Tingkat II Maluku mengatakan bahwa peranan PAD dalam membiayai pembangunan Daerah Tingkat II Maluku masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Daerah Tingkat II Maluku yang masih berada jauh di bawah rata-rata IKR Daerah Tingkat II secara nasional. Misalnya selama kurun waktu Pelita V (1991/1992-1993/1994) IKR Daerah Tingkat II Maluku berturut-turut adalah sebesar 8,1 persen, 7,3 persen, dan 6,5 persen.

5. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah sangat tinggi kepada Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi beban subsidi Pemerintah Pusat, Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan memanfaatkannya secara optimal.

6. Lebih lanjut Kuncoro (1995) mengungkapkan bahwa PAD menunjukkan kontribusi yang sangat rendah terhadap total penerimaan daerah di propinsi di Indonesia rata-rata hanya 15,4 % selama tahun 1984/1985 – 1990/1991. Artinya dibanding dengan PAD, subsidi dari Pemerintah Pusat lebih banyak dalam membiayai pengeluaran daerah. PAD hanya 30 % mampu membiayai pengeluaran rutin. Untuk Daerah Tingkat II, PAD hanya mampu membiayai pengeluaran rutinnya sebesar kurang dari 22 %. Sebagian besar Daerah Tingkat II di Indonesia prosentase PAD terhadap total belanja daerah kurang dari 15 %.

7. PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan dari sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.

8. Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada kajian yang dilakukan yang lebih pada peranan pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada strategi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), lokasi, waktu, dan alat analisis yang digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejauh pengamatan dan pengetahuan peneliti maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di Kota Bau-Bau.

1.3 Permasalahan

1.3.1 Identifikasi Masalah

Dalam membangun kemandirian fiskal daerah, Pemerintah Kota Bau-Bau masih mengalami masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1) Rendahnya kemampuan keuangan (kapasitas fiskal) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bau-Bau dilihat dari struktur APBD yang tidak sebanding dengan tingginya kebutuhan fiskal.

2) Tingginya ketergantungan Pemerintah Kota Bau-Bau terhadap bantuan Pemerintah Pusat dilihat dari besarnya dana perimbangan dibanding dengan pendapatan asli daerah.

3) Rendahnya motivasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah dilihat dari kecilnya penerimaan sektor pajak dan retribusi daerah.

4) Sulitnya mengidentifikasi potensi daerah sebagai dasar kebijakan bidang keuangan daerah yang terlihat dari sedikitnya sumber-sumber penerimaan.

5) Belum adanya suatu strategi keuangan daerah yang secara dinamis mampu membantu mensimulasikan dan menguji kebijakan keuangan daerah yang akan diambil.

6) Tingginya laju pertumbuhan biaya pelayanan publik tidak dapat diimbangi laju pertumbuhan penerimaan daerah sehingga kesenjangan fiskal semakin lebar.

1.3.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan indentifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah strategi peningkatan PAD Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara ?

b. Bagaimanakah straetegi keuangan Kota Bau-Bau dengan adanya kebijakan Pemerintah Kota Bau-Bau dibidang keuangan daerah ?

c. Bagaimanakah kebijakan Pemda Kota Bau-Bau dalam meningkatkan kemampuan keuangan Kota Bau-Bau ?

1.3.3 Pembatasan Masalah

Mengingat sangat kompleksnya aspek-aspek yang mempengaruhi keuangan daerah terutama dalam kaitannya dengan variabel perekonomian daerah dan anggaran pemerintah pusat, maka diperlukan adanya pembatasan yang akan mengarahkan jalannya penelitian ini. Untuk itu dalam penelitian ini, hanya membahas tentang strategi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.4.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi peningkatan PAD Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Menganalisis strategi peningkatan PAD Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Menganalisis strategi keuangan kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Menganalisis kebijakan peningkatan kemampuan keuangan Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.5 Kegunaan Penelitian

a. Bagi aspek keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumber pemikiran yang baru berdasarkan pendekatan analisis SWOT guna menambah khasanah pengetahuan di bidang ilmu pemerintahan daerah khususnya menyangkut kajian kebijakan keuangan daerah.

b. Bagi aspek praktis, Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi bagi Pemerintah Kota Bau-Bau sebagai acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pada masa yang akan datang. Kebijakan yang diambil tersebutpada akhirnya ditujukan untuk peningkatan peranan PAD dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

1.6 Kerangka Pikir

Salah satu kegiatan yang penting dalam Perencanaan Strategis adalah identifikasi dan/atau klarifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal. Faktor-faktor tersebut adalah kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki organisasi, faktor-faktor ini merupakan factor yang berada di lingkungan lingkungan internal organisasi. Sementara faktor peluang dan ancaman yang dihadapi dan/atau harus diatasi suatu organisasi berada dalam lingkungan eksternal organisasi.

Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995:20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.

Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000:5) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

PAD merupakan sumber keuangan daerah yang sangat mempengaruhi karena sebagai pendapatan yang dihasilkan sendiri dan dimanfaatkan secara leluasa oleh daerah, sehingga PAD perlu mendapat perhatian khusus oleh pemda setempat dalam rangka mengurangi ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat, sebab harus diakui bahwa meskipun otonomi daerah telah berlangsung, namun ketergantungan daerah terhadap pusat tetap tinggi yang tercermin dari lebih besarnya jumlah subsidi (DAU) terhadap PAD dalam APBD, yang berarti PAD masih sangat kecil kontribusinya bagi pembiayaan pembangunan daerah.

Selanjutnya menurut Mardiasmo (2003:140) sumber-sumber PAD terdiri dari beberapa unsur yaitu;

1. Hasil pajak daerah

2. Hasil Retribusi Daerah

3. Hasil perusahaan daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.

4. Hasil lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

SUMBER-SUMBER PAD

1. Hasil Pajak Daerah

2. Hasil Retribusi Daerah

3. Hasil Perusahaan Daerah dan pengelolaan Kekayaan Daerah

4. PAD lain-lain yang sah

Menurut Mardiasmo, (2003:140)

ANALISIS SWOT

1. Kekuatan (Strengths)

2. Kelemahan (Weaknesess)

3. Peluang (Opportunities)

4. Ancaman (Threats)

PENINGKATAN PAD

Tidak ada komentar: