SELAMAT DATANG DI BLOG BERBEDA DARI YANG LAIN

APA YANG ADA INGIN UNGKAP, RASAKAN, DISKUSIKAN....
SILAHKAN MUNGKIN DISINI KITA BISA TUKAR PANDANGAN DAN PENDAPAT....

Selasa, 15 Desember 2009

Akuntabilitas Pengelolaan Dana Alokasi Umum (DAU)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlunya Sistem Akutansi Keuangan Daerah

Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang relevan, handal dan dapat dipercaya, pemerintah daerah harus memiliki system akutansi yang handal. System akuntansi yang lemah menyebabkan pengendalian intern yang lemah dan pada akhirnya laporan keuangan yang dihasilkan juga kurang handal dan kurang relevan untuk pembuatan keputusan. Saat ini system akutansi yang dimiliki pemerintah daerah rata-rata masih lemah. (Mardiasmo, 2002)

Sementara itu di Indonesia belum ada standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik yang baku yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan dan bagi auditor dalam mengaudit laporan tersebut. Tidak adanya standar akuntansi yang memadai akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reabilitas informasi keuangan serta menyulitkan dalam pengauditan. (Sugijanto, dalam Mardiasmo, 2002)

Jaya (1999: 11) menyatakan bahwa sumber pembiayaan pembangunan yang penting untuk diperhatikan adalah penerimaan daerah sendiri, karena sumber inilah yang merupakan wujud partisipasi langsung masyarakat suatu daerah dalam mendukung proses pembangunan. Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Dalam hal ini pengelolaan keuangan daerah mengandung beberapa kepengurusan di mana kepengurusan umum atau yang sering disebut pengurusan administrasi dan kepengurusan khusus atau juga sering disebut pengurusan bendaharawan

Devas, dkk (1989) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut.

1. Tanggung jawab (accountability). Pemerintah Daerah harus mempertanggung jawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.

2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.

3. Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.

4. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

5. Pengendalian. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

Mardiasmo (2000) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah.

Transparansi dan akuntabilitas anggaran. Transparansi dan Akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada masyarakat, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu, untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat, maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.

Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah daerah perlu membuat laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal, laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja pemerintah dan unit kerja pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi pemakai eksternal, laporan keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk mekanisme pertanggungjawaban dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan, maka laporan keuangan pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan pengungkapan yang memadai (disclosure) mengenai informasi-informasi yang dapat mempengaruhi keputusan. (Mardiasmo, 2002)

B. Manajemen Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum Adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan ut pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya DAU diharapkan perbedaan kemampuan keuangan antar daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Sebagaimana diketahui dana bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan daerah penghasil (by origin) cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah, dimana daerah yang memiliki potensi pajak dan SDA yang besar akan mempunyai kapasitas fiskal yang relatif besar dibandingkan daerah lain.

Sumber penerimaan daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi untuk saat ini masih didominasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus, dan bagi hasil. Sedangkan porsi PAD masih reltif kecil. Secara rata-rata nasional, PAD hanya memberikan kontribusi 12-15% dari total penerimaan daerah, sedangkan yang kurang lebih 70% masih menggantungkan sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat.

Di kalangan pemerintah daerah sendiri masih terdapat anggapan bahwa terhadap PAD, pemerintah daerah bebas menggunakannya untuk kepentingan daerah, sedangkan dana perimbangan penggunaannya perlu menunggu petunjuk dan arahan dari pusat. Yang harus dipahami adalah bahwa kewenangan yang dimiliki daerah tidak sebatas dalam menggunakan PAD-nya saja, akan tetapi juga kewenangan dalam menggunakan dana perimbangan. Dan juga perlu dipahami adalah bahawa otonomi daerah dan desentralisasi daerah harus dapat membiayai seluruh pengeluaran rutin dan modalnya dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). (Mardiasmo, 2002)

Dalam kaitannya dengan manajemen penerimaan daerah, manajemen dana perimbangan juga merupakan aspek yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah. Beberapa daerah mengeluhkan bagian DAU yang diterima tidak cukup untuk membiayai pengeluaran daerah. Idealnya penerimaan daerah yang berasal dari Dana Bagian Daerah atas PPh Perseorangan, PBB, dan penerimaan SDA, serta dari Dana Alokasi Umum sudah cukup untuk membiayai Belanja pegawai dan belanja Nonpegawai. Namun, di beberapa pemerintah daerah DAU yang diterima tidak cukup untuk membiayai belanja pegawai, sehingga perlu dana bantuan dari pemerintah pusat.

Sementara itu, yang menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency) terutama untuk menutup fiscal gap. Sufficiency dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu kewenangan, beban, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah DAU yang sekarang ini diterapkan telah mencapai tujuan?

Henley et al (1992) mengidentifikasi beberapa tujuan pemerintah pusat memberikan dana bantuan dalam bentuk grant kepada pemerintah daerah yaitu :

· Untuk mendorong terciptanya keadilan antar wilayah (geographical equity)

· Untuk meningkatkan akuntabilitas (promote accountability).

· Untuk meningkatkan system pajak yang lebih progresif. Pajak daerah cenderung kurang progresif membebani tariff pajak yang tinggi kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah

· Untuk meningkatkan keberterimaan (acceptability) pajak daerah, pemerintah mensubsidi beberapa pengeluaran pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah pajak daerah.

Pada dasarnya terdapat dua jenis grant yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah, yaitu : (1) block grant (Dana Alokasi Umum), dan (2) specific grant (Dana Alokasi Khusus) dalam rangka meningkatkan local discretion, grant yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak bersifat block grant, bukan specific grant. Namun masih perlu di evaluasi mekanisme perhitungan DAU yang saat ini diterapkan. Apakah mekanisme perhitungan DAU yang saat ini diterapkan sudah tepat?

Sebagaimana dijelaskan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan keuangan pusat dan daerah (2001), bahwa Perhitungan DAU didasarkan pada dua faktor yaitu : (1) Faktor murni, adalah perhitungan DAU didasarkan formula, dan (2) factor penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah.

Dimasukannya faktor penyeimbang dalam perhitungan DAU adalah karena adanya kelemahan dalam faktor murni. Perhitungan DAU dengan menggunakan formula murni menunjukan bahwa banyak daerah yang mengalami penurunan penerimaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara beberapa daerah mengalami lonjakan penerimaan yang luar biasa. Untuk menghindari efek negatif, misalnya kesenjangan antar daerah yang justru semakin lebar, maka digunakan faktor penyeimbang. Pendekatan atas faktor penyeimbang dilakukan dengan memperhitungkan “Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah (DRD/DPD)” untuk masing-masing daerah yang diterima yang diterima tahun sebelumnya. Alasan digunakan DPR/DPD sebagai faktor penyeimbang adalah :

· Pada dasarnya DAU merupakan “pengganti” Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah (DRD/DPD) dalam pengertian bahwa bentuk transfer dari pusat kepada daerah selain bagi hasil pajak yang ada selama ini adalah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah (DRD/DPD)

· Apabila DAU yang dialokasikan untuk suatu daerah lebih kecil dari penerimaan transfer sebelumnya dikhawatirkan akan memberikan dampak spikologis maupun dampak teknis financial yang kurang baik;

· Dana Rutin Daerah (DRD) merupakan ukuran beban belanja dan selain itu DAU mempunyai sifat yang kurang lebih sama dengan DRD karena akan diterimakan secara rutin tiap bulan.

(Mardiasmo, 2002)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Strategi dan prioritas APBD adalah suatu tindakan dan ukuran untuk menentukan keputusan perencanaan anggaran daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang dipilih diantara alternatif kegiatan-kegiatan yang lain, untuk mencapai tujuan dan sasaran dari Pemerintah Daerah. Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan kepada unit kegiatan dalam rangka membiayai segala aktivitasnya. Plafon anggaran hanya ditujukan untuk perencanaan anggaran belanja investasi, bukan belanja rutin.

C. Pelayanan Publik

Pada dasarnya output Pemda adalah untuk menghasilkan pelayanan (services). Ada dua kelompok pelayanan yang dihasilkan yaitu pengadaan barang publik (public goods) dan pengadaan pengaturan (regulations) untuk kepentingan publik. Yang termasuk dalam kelompok public goods adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan Pemda seperti Pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb. Sedangkan dalam kelompok pengaturan (regulations) yang dihasilkan adalah dikeluarkannya berbagai pengaturan untuk mengatur kepentingan umum untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order) dalam masyarakat. Adapun yang termasuk jenis pengaturan adalah seperti KTP, KK, Akte Kelahiran, IMB, Ijin Usaha dsb.

Dikaitkan dengan isu transparansi dan akauntabilitas, maka sebagai lembaga yang mendapatkan legitimasi dari Rakyat untuk menghasilkan goods and regulations, pertanyaannya adalah sejauhmana Pemda mampu mempertanggung jawabkan baik kualitas maupun kuantitas dari output yang dihasilkannya sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itulah maka rakyat membayar pajak mempercayakan pemakaian pajak tersebut kepada wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilu. Dari sini lahir konsep "No Tax Without Representation". (Made Suwandi, 2002)

Pada dasarnya otonomi adalah memberikan kewenangan kepada masyarakat Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dari argumen ini lahir pertanyaan, urusan rumah tangga yang bagaimana yang seyogyanya menjadi isi otonomi Daerah. dari sini lahir perlunya pemahaman mengenai konsep "Power Sharing" antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dari tataran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu menyediakan pelayanan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat baik yang berkaitan dengan pelayanan kebutuhan pokok maupun untuk pengembangan core competence daerah ybs. Dikaitkan dengan otonomi luas, maka adalah sangat logis apabila Daerah mempunyai otonomi atau kewenangan yang memungkinkan Daerah ybs untuk menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pengembangan core competence-nya.

Adalah kewenangan untuk mengurus core competence yang membedakan satu daerah dengan daerah lainnya. Sedangkan dalam penyediaan pelayanan basic services setiap Daerah akan membutuhkan kewenangan yang sama seperti kewenangan dalam bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi. Yang membedakannya adalah gradasinya saja terutama dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat daerah ybs. Sebagai contoh kebutuhan akan pelayanan persampahan, transportasi dan air bersih di perkotaan akan lebih dominan di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.

Dilihat dari sisi output (keluaran), bahwa output Pemda adalah pelayanan (services). Ada dua kelompok pelayanan yang dihasilkan Pemda yaitu:

1. Pelayanan untuk penyediaan public goods

2. Pelayanan untuk membuat public regulations

Public goods dan public regulations yang diadakan oleh Pemda haruslah berkorelasi dengan kewenangan atau otonomi yang dimilikinya. Otonomi yang dimilikinya harus pula berkorelasi dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa otonomi luas sebagaimana dicanangkan dalam UU 22 Tahun 1999 haruslah mengacu kepada kemampuan atau kewenangan menyediakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat suatu daerah. Perbedaan otonomi antar daerah akan terletak pada perbedaan core competence yang akan dikembangkan Daerah yang bersangkutan. Core competence suatu daerah akan berkorelasi dengan karakter daerah seperti mata pencaharian penduduk, kondisi geografis dan demografis dan struktur ekonomi daerah yang bersangkutan. Pengembangan core competence tersebutlah yang sangat erat kaitannya dengan pengembangan ekonomi daerah.

Secara normatif, perlu dilakukan pembagian urusan atau kewenangan yang lebih jelas dan transparant antara Daerah Otonom Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pemda sesuai dengan tingkatan dan ruang lingkupnya mempunyai kewenangan atau urusan-urusan yang sesuai dengan kebutuhan Daerah dan masyarakatnya. Pertimbangan akauntabilitas perlu dikedepankan dalam pembagian urusan tersebut. Pemda Propinsi seyogyanya melakukan urusan2 dengan cakupan (catchment area) tingkat Propinsi seperti sungai, transportasi antar Kota/Kabupaten, Perencanaan tata ruang regional, hutan dan lembah dalam kawasan regional dan sebagainya.

Sedangkan Daerah kabupaten/Kota melakukan urusan-urusan yang bersifat lokal dalam catchment area kabupaten atau kota yang bersangkutan seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi lokal, pasar, pemadam kebakaran dan sebagainya. Untuk mencegah suatu daerah menghindari sesuatu urusan yang sebenarnya esensial untuk Daerah tersebut,

Pemahaman diatas akan memberikan landasan bagi Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Pemda yang melaksanakan kegiatan pelayanan yang tidak atau kurang berkorelasi terhadap kebutuhan masyarakat akan mengurangi akuntabilitas dan juga efektifitas dan efisiensi pemerintahan Daerah tersebut.

BAB II

FENOMENA

Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah, dikelola berdasarkan pendekatan kinerja yaitu pengelolaan angaran yang mengutamakan pencapaian out come dari alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kondisi semua komponen keuangan. Untuk itu pada bab ini diuraikan kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah dilihat dari sisi pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah termasuk realisasi dari masing-masing komponen tersebut. Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp. 419.500.960.982,53 dengan realisasi Rp. 396.289.547.070 Atau 94,47 persen.

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.


A. Pengelolaan Dana Alokasi Umum (DAU)

Pengelolaan pendapatan daerah pada tahun 2007, disusun berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pada pasal 25 pendapatan daerah dikelompokan atas : Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Sesuai UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana. Dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten Konawe Selatan meliputi dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Perimbangan dari Provinsi.

Untuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebesar 275.125.000.000,00 pada tahun 2007 Kabupaten Konawe Selatan sepenuhnya di kelolah oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang diperuntukan untuk urusan wajib pemerintahan umum. Untuk menunjang kegiatan tersebut, selain menggunakan DAU pemerintah juga menggunakan dan bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak sebesar 23.829.538.960,00, PAD sebesar 2.516.000.000,00, dan pendapatan lain daerah yang sah sebesar 1.604.438.599,00. Jadi total anggaran untuk Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sebesar 303.074.977.559,00. Atau sekitar 83% dari pendapatan daerah atau sekitar 77% dari keseluruhan total anggaran belanja daerah Kabupaten Konawe Selatan.

Namun anggaran yang digunakan hanya berkisar 40.621.478.381.,39 dimana penggunaan anggaran tersebut terdiri atas Belanja tidak langsung 30.572.641.441,39 dan Belanja Langsung sebesar 10.048.836.940,00 dan tersisa 262.453.499.177,61, atau yang terpakai hanya 13,4% dari total anggaran yang di sediakan.

B. Akntabilitas Anggaran

Target dan Realisasi Pendapatan

Secara umum target pendapatan daerah pada tahun 2007 sebesar Rp. 385.049.858.655 terealisasi sebesar Rp. 385.423.203.196 atau 100,10 persen, melebihi target sebesar Rp. 373.344.541 atau 0,10 persen. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan komponen pendapatan daerah termasuk target dan realisasinya pada tahun 2007.

    1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Target PAD Kabupaten Konawe Selatan pada Tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp. 8.863.972.946 dengan realisasi sebesar Rp. 7.841.731.511 atau 88,47 persen. Adapun komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Konawe Selatan pada tahun 2007 target dan realisasinya bahwa Pendapatan Asli Daerah bersumber dari tiga komponen, dengan realisasi dari masing-masing yaitu Pajak Daerah terealisasi sebesar 96,60 persen, Retribusi Daerah terealisasi 94,10 persen dan lain-lain pendapatan yang sah terealisasi sebesar 81,73 persen.

    1. Dana Perimbangan

Dari sisi dana perimbangan target yang ditetapkan pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 354.131,447.110 dengan realisasi sebesar Rp. 356.921.638.176 atau 100,79 persen, berikut ini diuraikan komponen, target dan realisasi dana perimbangan daerah, yaitu :

dana perimbangan pada tahun 2007 berasal dari tiga komponen, dengan realisasi masing-masing yaitu Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak teralisasi 110,33 persen, DAU terealisasi 100 persen dan DAK teralisasi sebsar 100,79 persen.

    1. Lain – lain Pendapatan yang Sah

Pendapatan dari lain-lain pendapatan yang sah pada tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp. 22.054.438.599,00 dengan realisasi Rp. 20.659.833.509 atau 93,68 persen. Adapun komponen dari pendapatan dimaksud meliputi pendapatan hibah sebesar Rp. 20.608.400.000,00 dengan realisasi Rp 18.395.000.000 atau 89,26 persen dan dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya ditetapkan sebesar Rp. 1.446.038.599,00 dengan realisasi Rp. 2.264.833.509 atau 156,62 persen.

Target dan Realisasi Belanja

a. Belanja Tidak Langsung

Pada tahun 2007 belanja tidak langsung ditetapkan sebesar Rp. 180.398.521.921.27 atau 42 persen dari total APBD dan terserap sebesar Rp. 157.920.469.195 atau 87,54 persen. Komponen belanja tidak langsung pada APBD tahun 2007 meliputi : 1) belanja pegawai ditetapkan sebesar Rp. 146.024.076.301,88, dengan realisasi Rp. 129.406.268.195 atau 88,62 persen; belanja bantuan sosial ditetapkan sebesar Rp. 12.595.000.000 dengan realisasi Rp. 11.504.391.400 atau 91,34 persen; 2) belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa ditetapkan sebesar Rp. 75.000.000 dengan realisasi Rp. 73.359.600 atau 91,34 persen; 3) belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa ditetapkan sebesar Rp. 16.604.500.000 dengan realisasi Rp 16.408.673.000 atau 98,82 persen; dan 4) belanja tidak terduga ditetapkan sebesar Rp. 5.099.945.619.39 dengan realisasi Rp. 527.777.000 atau 10,35 persen.

b. Belanja Langsung

Untuk belanja langsung pada APBD tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp. 239.102.439.061.27 atau 58 persen dari total APBD, dan terserap sebesar Rp. 228.369.077.875 Atau 95,51 persen. Komponen belanja langsung meliputi: 1) belanja pegawai ditetapkan sebesar Rp. 22.983.800.370 dengan realisasi Rp. 21.773.680.870 atau 94.73 persen; 2) belanja barang dan jasa ditetapkan sebesar Rp. 58.981.073.402 dengan realisasi Rp. 55.625.517.132 atau 94,31 persen; dan 3) belanja modal ditetapkan sebesar Rp. 157.137.565.289,27 dengan realisasi Rp 150.969.879.873 atau 96,07 persen.

C. Pelayanan Publik

Masalah yang terjadi dalam proses hubungan atau pelayanan antara birokrasi pemerintahan dan masyarakat, berdasarkan sinyalemen atau kritikan diatas, memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit dan implisit menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya kualitas dalam pelayanan. Realitas empirik menunjukan birokrasi belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tetapi ingin dilayani masyarakat. Realita yang demikian ini, memerlukan kepedulian dari kalangan aparat, sehingga masyarakat perlu mendapatkan layanan prima yang dapat memuaskan.

Munculnya berbagai kritikan dari masyarakat tersebut paling tidak dapat menjustifikasi adanya pengabaian terhadap tugas dan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Berbagai penyimpangan di atas, diduga akibat tidak siapnya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai pihak konsumen yang menerima serta merasakan manfaat dari layanan tersebut, sehingga layanan yang diterimanya tidak memuaskan. Masyarakat sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan dari pemerintah, yang secara langsung dapat merasakan manfaatnya sekaligus yang menanggung konsekwensi buruk dari pelayanan, karena itu diperlukan adanya suatu sikap masyarakat yang proaktif dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Selama ini masyarakat sering mengasumsikan bahwa birokrasi merupakan bentuk pelayanan yang berbelit-belit. Karena itu masyarakat sering mengeluhkan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai media cetak tentang perilaku birokrasi yang cenderung bersikap arogan dan tidak menunjukkan citra sebagai pelayan masyarakat, karena yang nampak adalah sosok penguasa yang ingin dilayani bukan untuk melayani. Oleh karena itu kesan pertama dari dari hampir setiap warga masyarakat yang datang berurusan ke kantor-kantor pemerintah kabupaten adalah bertemunya mereka dengan pegawai berseragam yang kurang ramah, kurang informative, mata duitan dan kurang profesional Belum lagi nada sinisme yang melihat seolah-olah salah satu ciri birokrasi pemerintah adalah selalu membuat sesuatu pekerjaan yang sesungguhnya sederhana menjadi rumit dengan perkataan lain cara bekerja yang berbelit-belit.

Menyadari akan kondisi tersebut sudah tidak mengherankan jika kita sering mendengar keluhan dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah akan sesuatu urusan bahkan mereka kecewa karena pelayanan yang diberikan selain berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku, juga perilaku oknum aparatur yang memberikan layanan kepada masyarakat kadang kala kurang bersahabat dan kurang memuaskan masyarakat. Realita yang demikian ini, memerlukan kepedulian dari kalangan aparatur, sehingga masyarakat perlu mendapatkan layanan prima. Keprimaan dalam memberikan layanan pada gilirannya akan mendapatkan pengakuan atas kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat (pelanggan).

Citra buruk organisasi publik tersebut tidak hanya tertuju pada organisasi publik di tingkat pusat tetapi juga pada organisasi publik di tingkat lokal (Pemda) termasuk Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan. Hal ini dikatakan bahwa pelayanan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pada masyarakat dianggap masih perlu ditingkatkan.

Kondisi demikian tentunya paling tidak akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bahwa pemerintah seharusnya memberikan yang terbaik bagi kepentingan masyarakatnya. Karena mereka merasakan tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan layanan terutama sertifikat tanah selain berhubungan dengan pemerintah. Pemerintahan itu dianggap baik apabila mampu menyediakan pelayanan yang berkualitas yang memberikan kepuasan kepada masyarakatnya dan sebaliknya pengelolaan pemerintahan akan dipersepsikan buruk apabila tidak mampu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.

Kemudian dalam konteks pemerintahan yang baik maka salah satu ukurannya adalah jika masyarakat semakin hari semakin merasakan adanya keadilan dalam kehidupan mereka, maka hal ini menyangkut fungsi pemerintahan yang pertama yaitu pelayanan (Rasyid, 1998 : 12).

Lebih lanjut Rasyid (1998 : 32) mengatakan bahwa untuk membangun ketaatan masyarakat, maka diperlukan pemerintahan yang baik yang mampu mengelola pemerintahan yang dapat mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan yang dilaksanakan dan terutama yang mampu menciptakan keadilan melalui pelayanan yang diberikan serta yang mampu menciptakan kemandirian melalui pemberdayaan yag dilakukan.

Berkaitan dengan perlakuan adil ini menurut Lukman (1998 : 27), bahwa untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, maka faktor keadilan yang merata perlu ditegakkan, yaitu dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan secara luas dengan distribusi merata dan diperlakukan secara adil.

Urgensi penghargaan ini menurut Waworuntu (97 : 90) adalah mendorong para warga datang kembali manakala mereka membutuhkan jasa kantor anda, karena masyarakat merasa dihargai dan masyarakat merasa senang.


BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Keuangan Daerah

Ada tiga hal penting yang tersirat dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah yaitu ; sharing of power, distribution of income dan empowering. Inti dari ketiga hal tersebut adalah desentralisasi atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan bertanggungjawab terhadap urusan daerah masing-masing, termasuk kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengurus dan mengelola keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.

Untuk mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sebagai dasar aturannya adalah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, yang dalam uraian sumber-sumber keuangan daerah berbeda dengan pengaturan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang sebelumnya digunakan.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah baik pusat maupun daerah ‘dijembatani’ oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah yang membawa perubahan fundamental dalam hubungan keuangan. Pada intinya hubungan ini mengatur pembagian wewenang, tanggungjawab, sumber-sumber penerimaan, serta pendistribusian keuangan dan pembiayaan pemerintahan/pembangunan secara adil dan proporsional pada tingkat-tingkat pemerintahan. Hal ini dengan jelas diuraikan dalam Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, bahwa Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya, yang dalam peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam PP No. 104 Tahun 2000 Tentang Dana Perimbangan.

Karena menyangkut hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka pada dasarnya tujuannya tidak terlepas dari tujuan politik sebab didalamnya mengatur peran dan menentukan kekuasaan/kewenangan yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah dalam sistem pemerintahan. Devas et,al (1989 : 179-180) memberikan pandangan mengenai peran yang dapat dijalankan oleh Pemerintah daerah. Pandangan pertama menekankan peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas masyarakat setempat yang tujuannya pada dasarnya bersifat politik, dalam arti pemerintah daerah merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk menyelenggarakan urusan setempat sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka. Pandangan kedua, pemerintah daerah pada dasarnya adalah lembaga untuk menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah dan sebagai alat yang tepat untuk menebus biaya dalam memberikan layanan tersebut dengan tujuan yang bersifat tata usaha yaitu lebih mudah dan berhasil guna menggunakan jaringan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas yang tersebar dimana-mana dan menuntut pengetahuan mengenai keadaan setempat, dan ekonomi yaitu daya guna yang lebih besar dapat diraih bila kebijaksanaan dan penggunaan sumber daya dapat disesuaikan pada keadaan dan kebutuhan setempat.

Terlepas dari itu semua, satu hal penting yang perlu diingat, bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu alat utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui Dana Perimbangan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah, walaupun sebenarnya dalam pelaksanaannya tidak hanya terfokus pada Dana Perimbangan, namun lebih kepada bagaimana kemampuan daerah untuk memanfaatkan, mendayagunakan, dan mengelola potensi-potensi yang ada didaerah. Hal ini didukung oleh pendapat Sidik (2000 : 10) bahwa secara utuh desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, kepada daerah diberikan kewenangan untuk mendayagunakan keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Sehubungan dengan hal diatas, Davey (1988 : 255) menyarankan suatu sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus menjamin adanya :

1. Suatu pembagian kekuasaan yang rasional di tingkat-tingkat pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintah, yaitu suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi.

2. Suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi, penyediaan pelayanan, dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

3. Pembagian yang adil diantara daerah-daerah atas pengeluaran pemerintah, atau sekurang-kurangnya ada perkembangan yang memang diusahakan kearah itu,

4. Suatu upaya perpajakan (fiscal effort) didalam memungut pajak dan retribusi oleh Pemerintah Daerah yang sesuai dengan pembagian yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dan masyarakat.

Hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas, responsible, dan akuntabel. Namun bila kita pelajari dan lihat kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang tercermin dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, maka dalam policy level (tingkat kebijakan) masih bayak mengandung kelemahan, karena Undang-undang tersebut cenderung lebih mencerminkan desentralisasi pengeluaran (expenditure) dibandingkan dengan desentralisasi pemungutan pendapatan (revenue). Untuk itu perlu adanya suatu ketegasan mengenai penilaian terhadap tingkat kemandirian fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melihat pada besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah.

Sebagai konsekuensi dari kabupaten yang baru terbentuk dan berkembang, maka diperlukan sebuah analisis terhadap kondisi keuangan/ekonomi daerah khususnya dalam hal prospektif tidaknya kondisi keuangan/ekonomi tersebut.

Sebagaimana yang telah didefinisikan sebelumnya, prospek keuangan daerah merupakan bagaimana kondisi keuangan daerah pada masa sekarang sebagai penilaian terhadap kondisi keuangan daerah kedepan nanti, yang dapat dianalisis melalui beberapa indikator berikut :

a. Kemampuan PAD, dengan menghitung proporsi PAD terhadap APBD.

b. Proporsi Dana Perimbangan terhadap APBD, dan Bantuan (DAU dan DAK).

c. Efisiensi dan efektifitas PAD, serta

d. Elastisitas PAD dan APBD terhadap PDRB

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi daerah

Sebagaimana yang menjadi acuan dalam mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah, setidaknya ada beberapa indikator yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi ekonomi Konawe Selatan baik sebelum maupun setelah terbentuk menjadi suatu Kabupaten baru.

Dalam menentukan suatu kebijakan yang untuk kemudian dikeluarkan menjadi suatu peraturan daerah, faktor people centered yaitu berorientasi pada apa yang diinginkan masyarakat sebagai stakeholder, merupakan sesuatu yang harus menjadi prioritas utama. Hal tersebut dapat diamati oleh Penulis saat penelitian dimana mekanisme pengorganisasian pelaksanaan kebijakan Kabupaten Konawe Selatan selalu melibatkan semua pihak yang dilakukan melalui tahap-tahapan berikut ; rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui wakil-wakilnya di DPRD Kabupaten memberikan mandat kepada pemerintah (Bupati dan jajarannya) untuk menyelenggarakan roda pemerintahan dan pembangunan kabupaten dalam bentuk kerangka dasar yaitu Pola Dasar Pembangunan Daerah (POLDAS), yang kemudian oleh pemerintah (Bupati) dijabarkan melalui Program Umum Pembangunan Daerah (PROPEDA), Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Konawe Selatan, dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA), serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selanjutnya setelah kebijakan telah tertuang dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) didukung oleh adanya kelembagaan yang berwewenang, Bupati bersama Wakil Bupati selaku pimpinan pemerintahan mengimplementasikan operasionalisasi kebijakan tersebut melalui Sekretaris Daerah Kabupaten sebagai pembantu utama di bidang administrasi kebijakan untuk selanjutnya secara teknis administrasi mendistribusikan fungsi-fungsi organisasi dalam bentuk tugas yang dapat dibedakan dalam tiga fungsi tugas, yakni, proses perencanaan oleh Badan Perencanaan Pembangunan dan Percepatan Ekonomi Daerah (Bapppeda), kemudian fungsi pelaksanaan oleh seluruh unit teknis (Dinas dan Badan) otonom daerah, seiring dengan tugas pelaksanaan dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh unit kerja vertikal di daerah yang sinergis dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah kabupaten dan kota se Kabupaten Konawe Selatan, serta fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Daerah.

Upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah sangat berhubungan dengan keahlian atau skill aparat dari suatu daerah dalam hal peningkatan pendapatan daerahnya agar secara berkesinambungan mampu memikul beban biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang semakin meningkat sehingga mampu memberikan kemandirian bagi daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Secara umum, upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi dan ekstensifikasi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Memperluas basis penerimaan.

Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu : mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum perpajakan.

b. Memperkuat proses pemungutan.

Yaitu upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan antara lain dengan menyusun Perda, mengubah tarif, dan peningkatan SDM.

c. Meningkatkan pengawasan

Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak, serta meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh daerah.

d. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan.

Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pungutan.

Meningkatkan kapasitas penerimanaan melalui perencanaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu melakukan alokasi sumber daya yang efisien. Kemampuan daerah untuk mengelola sumber daya secara efisien tercermin dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah selaku perencana, dimana hal ini akan membawa dampak pada keberhasilan ekonomi daerah secara optimal. Dengan adanya otonomi, setiap daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya untuk meningkatkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat daerah. Dengan kata lain, bahwa otonomi daerah menuntut adanya suatu kemandirian daerah didalam berbagai aspek terutama aspek perencanaan, keuangan, dan pelaksanaan.

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari otonomi daerah. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fugsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat.

Tujuan utama penyelenggaran Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publick service) dan memajukan perekonomian daerah. Kebijakan pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002).

Dengan adanya otonomi daerah ini berarti pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial. Meski begitu pemerintah pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU).

Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan PEMDA, PEMPUS akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Disamping dana perimbangan tersebut, PEMDA mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Seharusnya dana transfer dari Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemda untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Untuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebesar 275.125.000.000,00 pada tahun 2007 Kabupaten Konawe Selatan sepenuhnya di kelolah oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang diperuntukan untuk urusan wajib pemerintahan umum. Untuk menunjang kegiatan tersebut, selain menggunakan DAU pemerintah juga menggunakan dan bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak sebesar 23.829.538.960,00, PAD sebesar 2.516.000.000,00, dan pendapatan lain daerah yang sah sebesar 1.604.438.599,00. Jadi total anggaran untuk Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sebesar 303.074.977.559,00. Atau sekitar 83% dari pendapatan daerah atau sekitar 77% dari keseluruhan total anggaran belanja daerah Kabupaten Konawe Selatan.

Berbagai penyimpangan terjadi diduga akibat tidak siapnya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai pihak konsumen yang menerima serta merasakan manfaat dari layanan tersebut, sehingga layanan yang diterimanya tidak memuaskan. Masyarakat sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan dari pemerintah, yang secara langsung dapat merasakan manfaatnya sekaligus yang menanggung konsekwensi buruk dari pelayanan, karena itu diperlukan adanya suatu sikap masyarakat yang proaktif dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam hal pelayanan publik Citra buruk organisasi publik tersebut tidak hanya tertuju pada organisasi publik di tingkat pusat tetapi juga pada organisasi publik di tingkat lokal (Pemda) termasuk Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan. Hal ini dikatakan bahwa pelayanan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pada masyarakat dianggap masih perlu ditingkatkan.

B. Rekomendasi

Berdasarkan analisis diatas maka penulis merekomendasikan :

1. Pemerintah kabupaten Konawe Selatan seyogyanya memperhatikan sumber-sumber pendapatan daerah, dalam hal ini penerimaan yang bersumber dari perimbangan keuangan agar dikelolah dengan kebutuhan dan skala prioritas

2. Profesionalisme dan akuntabilitas keuangan, diperlukan adanya suatu system akuntansi keuangan agar dalam prose penggunanaannya dapat lebih mudah dalam melakukan ukuran-ukuran.

3. Harus ada standar akuntansi keuangan sector publik yang baku yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan.

4. Profesionalisme dalam melakukan proses pelayanan publik dalam hal ini sangat diperlukan, mengingat banyaknya dana yang dipakai untuk keperluan itu.

Tidak ada komentar: